Rabu, 10 Oktober 2007

Prof Idris Arief (1): Mengatasi Krismon dan Meredam Aksi Mahasiswa



Ketika terpilih menjadi rektor pada periode pertama, Idris Arief langsung dihadapkan kepada berbagai persoalan dan tantangan, antara lain memuncaknya krisis moneter (krismon) yang diiringi naiknya harga barang. Anggaran pembangunan yang diterima UNM dari pemerintah pusat juga menurun drastis, dari biasanya sekitar Rp 10 miliar turun menjadi sekitar Rp 1,5 miliar.





---------------


HM Idris Arief: 


Mengatasi Krismon dan Meredam Aksi Mahasiswa


Oleh : Asnawin

Banyak suka duka yang dialami Prof Dr HM Idris Arief MS selama menjabat Rektor Universitas Negeri Makassar (dulu IKIP Ujung Pandang). Ia menjabat rektor sejak tahun 1999 dan akan berakhir tahun 2007 ini.

Penggantinya adalah Prof Dr H Arismunandar MPd. Pembantu Rektor II itu terpilih sebagai rektor pada 17 September 2007, dan kemungkinan akan dilantik bersama beberapa rektor perguruan tinggi negeri di Jakarta, Desember 2007 atau Januari 2008.

Idris Arief yang lahir di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan pada 1 Februari 1942, adalah sarjana UNM (dulu IKIP Ujungpandang), jurusan Ekonomi (1967).

Suami dari Prof Dr Hj Rabihatun Idris MS itu pernah menimba ilmu pascasarjana Studi Pembangunan di Universitas Indonesia (1979), ilmu manajemen di Washington State University, AS (1992), serta magister (S2) dan doktor (S3) Ilmu Ekonomi di Unhas.

Sebelum terpilih menjadi rektor pada periode pertama 1999-2003, Idris Arief menjabat Pembantu Rektor II UNM juga selama dua periode (1991-1999).

Penatar nasional manajemen perguruan tinggi dan dosen pascasarjana di beberapa perguruan tinggi itu, juga terlibat dalam beberapa organisasi.

"Tetapi saya tidak punya minat dan bakat di organisasi politik," katanya.

Ketika terpilih menjadi rektor pada periode pertama, Idris Arief langsung dihadapkan kepada berbagai persoalan dan tantangan, antara lain memuncaknya krisis moneter (krismon) yang diiringi naiknya harga barang. Anggaran pembangunan yang diterima UNM dari pemerintah pusat juga menurun drastis, dari biasanya sekitar Rp 10 miliar turun menjadi sekitar Rp 1,5 miliar.

"Bayangkan, saat terjadi krismon, saat harga barang-barang mahal, anggaran untuk perguruan tinggi dipangkas dan tidak boleh ada pembangunan fisik, padahal kebutuhan kampus meningkat," ungkapnya.

Tantangan yang dihadapi antara lain perubahan nama dan status Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Ujungpandang menjadi Universitas Negeri Makassar (UNM).

"Dengan perubahan tersebut, UNM mendapat perluasan mandat, yakni mencetak calon guru dan lulusan ilmu murni atau non-kependidikan," papar Idris Arief.

Tidak mudah mengatasi persoalan dan tantangan itu, tetapi dengan berbagai pengalamannya sebagai pejabat di lingkungan UNM dan pergaulannya yang cukup luas, dia yakin mampu menghadapi dan mengatasinya.

Kadang-kadang Menangis


Ketika terjadi krisis moneter (krismon), harga barang-barang naik dan seharusnya alokasi anggaran pembangunan juga naik, tetapi UNM dan seluruh perguruan tinggi negeri di Indonesia justru terpaksa "gigit jari", karena jatah mereka dikurangi.

UNM yang biasanya menerima anggaran dari pemerintah pusat sekitar Rp 10 miliar, jatahnya dikurangi menjadi hanya sekitar Rp 1,5 miliar pada 1999.

Selain itu, juga ada aturan bahwa PTN tidak boleh membangun gedung baru dan aturan itu masih berlaku sampai sekarang.

Kondisi itu membuat UNM 'menderita' selama beberapa tahun sejak terjadinya krismon, dan terpaksa melakukan 'tambal sulam' dalam memanfaatkan dana yang ada, apalagi SPP mahasiswa juga tergolong paling rendah di antara semua PTN.

"Kadang-kadang saya menangis. Saya memutar otak bagaimana bisa mengendalikan UNM yang begini besar dengan dana yang terbatas," ungkap Idris Arief.

Namun seiring berjalannya waktu dan bertambahnya pengalaman sebagai rektor, Idris Arief pun mencoba melakukan berbagai pendekatan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Dirjen Dikti Depdiknas.

"Berkat pendekatan yang kami lakukan ke pusat, dengan alasan kebutuhan mendesak, UNM akhirnya mendapatkan izin dan dana untuk pembangunan gedung baru," ungkapnya.

Hingga tahun 2007, UNM telah memiliki kampus yang tersebar pada enam lokasi, yakni Kampus Gunungsari Baru, Kampus Parangtambung, Kampus Banta-bantaeng, Kampus Tidung, Kampus Parepare, dan Kampus Bone.

Guna menyukseskan program PGSD S1 (sarjana pendidikan guru sekolah dasar) berasrama, UNM telah mendapat persetujuan mengembangkan rusunawa atau rumah susun sederhana sewa).

Mahasiswa dan Dosen


Di sisi lain, minat masyarakat untuk melanjutkan pendidikan ke UNM juga tidak berkurang dan malah cenderung bertambah, karena UNM bukan lagi sekadar mencetak tenaga kependidikan, melainkan juga mencetak tenaga non-kependidikan alias sarjana ilmu murni.

Ketika Idris Arief terpilih menjadi rektor pada periode pertama 1999, jumlah mahasiswa UNM hanya 8.719 orang, tetapi tahun 2007 ini jumlahnya 17.235 orang.

Program Pascasarjana juga berkembang cukup pesat yang ditandai dengan penambahan program studi yang ditawarkan kepada masyarakat dan semakin banyaknya mahasiswa baru setiap tahunnya.

Jumlah dosen UNM yang berkualifikasi magister (S2) dan doktor (S3) pada 1999, hanya 29% dari total 815 dosen, terdiri atas 265 dosen S2 (32,52%) dan 52 dosen S3 (6,38%).

Delapan tahun kemudian, tepatnya hingga September 2007, dosen UNM yang berkualifikasi S2 tercatat 597 orang (68,62%) dan S3 sebanyak 87 orang (10%) dari total 870 dosen.

"Sampai saat ini, jumlah dosen yang berkualifikasi magister dan doktor berkisar 79 persen, jauh melampaui target nasional yang mengisyaratkan 55 persen. Diperkirakan tahun 2009 nanti, jumlah dosen UNM yang berkualifikasi S2 dan S3 sudah berkisar 90 peren, karena banyak dosen yang sementara studi S2 dan S3, baik di dalam negeri maupun di luar negeri," papar Idris.

Minta Diberhentikan


Di tengah upayanya mengembangkan UNM dengan melakukan berbagai upaya dan terobosan, Prof Dr HM Idris Arief MS juga harus menghadapi berbagai tantangan internal. Tantangan itu antara lain banyaknya aksi unjukrasa dan kerapnya terjadi tawuran antarmahasiswa.

Tantangan lain datang dari kalangan dosen saat dirinya memenuhi keinginan banyak pihak untuk maju kembali dalam pemilihan rektor pada 2003.

Ketika itu, ada isu yang dihembuskan oknum tertentu bahwa dirinya sudah lewat umur sehingga tidak berhak lagi maju sebagai calon rektor, bahkan ada isu bahwa dirinya telah melakukan pencurian umur.

Menghadapi isu-isu tersebut, Idris Arief tidak langsung berkomentar, apalagi mencak-mencak, melainkan dengan melakukan konsultasi kepada Dirjen Dikti Depdiknas. Setelah meneliti ijazah dan berkas-berkasnya, Dirjen Dikti mengeluarkan surat edaran tentang batasan usia calon rektor dan ternyata dirinya lolos.

Saingan beratnya empat tahun lalu sebagai calon rektor adalah Prof Dr HM Anwar Pasau MA, Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK). Perbedaan suara yang tipis dalam pemilihan membuktikan bahwa Anwar Pasau juga punya potensi dan dukungan luas.

Potensi itulah yang membuat Idris Arief menarik Anwar Pasau menjadi Pembantu Rektor I Bidang Akademik.

Idris Arief juga melakukan terobosan dengan menarik dua "anak muda" sebagai Pembantu Rektor, yakni Dr Arismunandar MPd sebagai Pembantu Rektor II Bidang Keuangan, dan Dr Hamsu Gani MPd sebagai Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan.

Arismunandar dan Hamsu Gani yang waktu itu baru berusia sekitar 40 tahun, kini sudah menjabat sebagai guru besar. Arismunandar bahkan kemudian terpilih sebagai Rektor UNM periode 2007-2011 menggantikan Idris Arief.

Prof Dr HM Basri Wello MA yang sebelumnya menjabat Pembantu Rektor III digeser menjadi Pembantu Rektor IV Bidang Kerja Sama. Basri Wello juga cukup berhasil mengemban amanat tersebut yang ditandai dengan banyaknya kerja sama UNM dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri.

Idris Arief bersama kwartet Anwar Pasau, Arismunandar, Hamsu Gani, dan Basri Wello, telah melakukan banyak hal dalam upaya pengembangan UNM, termasuk dalam mengemban amanat tridarma perguruan tinggi yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian kepada masyarakat.

Tawuran dan Unjukrasa


Sayangnya, berbagai upaya dan keberhasilan yang diraih, termasuk keberhasilan mahasiswa dalam berbagai ajang lomba dan kompetisi, UNM juga kerap "diganggu" aksi unjukrasa, aksi perusakan, dan tawuran.

Peristiwa yang memilukan terjadi ketika kampus Fakultas Teknik dibakar oleh mahasiswa yang menyebabkan kerugian miliaran rupiah. Peristiwa memalukan lainnya ketika mahasiswa berkelahi dengan sopir pete-pete.

Sebenarnya sudah banyak langkah yang dilakukan oleh pihak rektorat, mulai dari upaya pencegahan (tindakan preventif), pendekata persuasif, hingga memberikan sanksi kepada mahasiswa yang terlibat tawuran atau perusakan.

"Banyak mahasiswa yang diskorsing dan tidak sedikit juga yang dikeluarkan, tetapi tetap saja kerap terjadi aksi unjukrasa dan tawuran," ungkap Idris Arief.

Karena merasa terganggu dan agak frustrasi, dia kemudian menghadap Dirjen Dikti, Satrio Soemantri Brodjonegoro, di Jakarta.

"Kepada Pak Dirjen, saya meminta agar diberhentikan sebagai rektor, karena saya merasa gagal," ungkapnya.

Permintaan itu membuat Dirjen Dikti terdiam beberapa saat. Setelah menghela nafas, katanya, Satrio Soemantri kemudian mengatakan, "Jangan minta diberhentikan, mintalah yang lain."

Setelah itu, Dirjen Dikti mengatakan bahwa ukuran kegagalan bukan dilihat dari banyaknya aksi unjukrasa dan tawuran, melainkan dilihat dari tridarma perguruan tinggi.

"Pak Dirjen mengatakan, aksi unjukrasa dan tawuran terjadi di mana-mana. Seorang rektor baru dikatakan gagal kalau tridarma perguruan tinggi tidak berjalan. Beliau kemudian mengatakan, UNM mengalami banyak kemajuan, baik dalam pendidikan dan pengajaran, penelitian, maupun pengabdian kepada masyarakat. Beliau menilai saya tidak gagal, tetapi cukup berhasil," ungkap Idris.

1 komentar:

Asnawin Aminuddin mengatakan...

engkau begitu berjasa bagi banyak orang, semoga Allah SWT memberikan balasan setimpal, merahmatimu, dan manjauhkanmu dari api neraka, aamiinn....